Universalisme adalah suatu konsep
atau pandangan yang menyatakan bahwa nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau ide-ide
tertentu memiliki relevansi dan keberlakuan universal, yaitu dapat diterapkan
dan berlaku untuk semua individu atau kelompok, tanpa memandang perbedaan
budaya, agama, ras, atau latar belakang lainnya. Dalam konteks agama,
universalisme dapat merujuk pada keyakinan bahwa ajaran atau pesan suatu agama
memiliki relevansi untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk kelompok atau
komunitas tertentu. Dalam Islam, konsep universalisme sudah tertuang dalam
Al-Qur’an dan sunnah itu sendiri, yang mana keduanya menjadi landasan utama
dalam menetapkan suatu hukum. Konsep Rahmatan lil-Alamin (rahmat bagi seluruh
alam) mencerminkan semangat universalisme, di mana ajaran Islam dianggap
sebagai petunjuk untuk seluruh umat manusia. Dalam QS. Al-Anbiya ayat 107,
Allah SWT berfirman:
ÙˆَÙ…َاۤ اَرْسَÙ„ْÙ†ٰÙƒَ اِÙ„َّا رَØْÙ…َØ©ً Ù„ِّـلْعٰÙ„َÙ…ِÙŠْÙ†َ
Yang artinya:
"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 107)
Dari ayat tersebut sudah sangat
jelas bahwa islam memegang prinsip universalisme atau yang sering kita sebut
dengan Rahmatan lil-Alamin yang mana nilai-nilai yang ada di dalamnya tidak
untuk segolongan umat saja, melainkan seluruh manusia yang ada di bumi tanpa
memandang budaya, latar belakang, suku, dan juga ras.
Menurut Mas Syahrul Ramadhan S.Sos ,M.Ag. (Ketua PCIM Iran) saat menjadi pemateri dalam Pelatihan Kader Madya Taruna Melati 3 yang diselenggarakan oleh PW IPM Jawa Timur pada hari Jum’at 3 November 2023 lalu, beliau mengatakan ada 4 poin terkait Universalisme islam, yaitu
1. Fitrah manusia Manusia adalah ciptaan Allah SWT
yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, sifat-sifat itu terkandung dalam ajaran-ajaran
agama. Dari kesamaan yang Tunggal ini manusia memiliki
tuhan yang Tunggal. Sehingga manusia dengan manusia lainnya sifatnya setara,
tidak boleh ada yang merasa lebih unggul. Inilah yang disebut universalisme
dari agama. Perbedaan yang dimiliki manusia bukan untuk membeda-bedakan satu
dengan yang lain, melainkan untuk saling mengenal. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam QS. Al-Hujurat ayat 13. Namun, implementasi yang
dilakukan oleh Muhammadiyah tidak berhenti hanya dalam taaruf (saling mengenal)
saja, melainkan dikembangkan dan digerakkan menjadi taawanu (saling menolong).
2. Sesuai tempat dan waktu
Semua yang ada di dunia ini adalah
ciptaan Allah SWT dan semua tunduk patuh atas perintah-Nya. Oleh karena itu,
mustahil Allah SWT tidak mengetahui apa yang akan terjadi, semua kejadian di
bumi baik yang sudah lampau maupun akan terjadi pasti diketahui oleh Allah SWT.
Sehingga syariat yang diturunkan Allah SWT dahulu kala
tidak akan bertentangan dengan dinamika kehidupan. Namun mazhab fiqih dengan
dinamika mungkin saja bertentangan, sehingga Muhammadiyah memilih untuk tidak
bermazhab dan membuka pintu ijtihad. Karena sejatinya syariat islam itu benar,
tetapi ada beberapa yang tidak makbul atau kurang relevan di zaman dan di
tempat tertentu.
3. Islam dunia dan islam akhirat
Dalam beragama, setiap orang harus memiliki keseimbangan antara
duniawi dan akhirat, tidak boleh ada kesenjangan antara keduanya. Caranya
sederhana, dekati yang wajib dan jauhi yang haram, dekati yang sunnah dan jauhi
yang makruh, menerima yang tidak disukai dan jauhi yang disukai. Karena yang
disukai cenderung membuat kita lalai akan perintah-perintah Allah SWT. Pendiri
Muhammadiyah, Ahmad Dahlan pernah berkata “Kita manusia ini hidup di dunia
hanya sekali, untuk bertaruh sesudah mati akan mendapat kebahagiaankah atau
kesengsaraankah?” Hal ini menunjukan bahwa Muhammadiyah tidak hanya membahas
perkara duniawi dan materialistis saja, melainkan juga kehidupan setelah dunia
yaitu akhirat.
4. 4. Islam antara Lokal dan Global
Di
Indonesia banyak sekali adat dan budaya tinggalan para leluhur, lalu bagaimana
agama dan adat bisa bertemu? selama kegiatan budaya itu tidak mengandung unsur
syirik, maka hukumnya boleh-boleh saja. Islam tidak pernah menolak adat dan
budaya, hanya saja jangan memasukkan nilai-nilai ketuhanan dalam kegiatan
budaya, yaitu mensakralisasi budaya.
Penting untuk dicatat bahwa universalisme Islam menekankan nilai-nilai bersifat umum, interpretasi dan implementasinya dapat bervariasi di antara komunitas Muslim dan pemikir Islam. Beberapa aliran atau kelompok mungkin menekankan aspek-aspek tertentu dari universalisme ini lebih dari yang lain. Universalisme sangat berhubungan erat dengan dakwah yang dilakukan Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah mencerminkan usaha untuk mengintegrasikan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang lebih baik secara moral, sosial, dan ekonomi. Selain itu Muhammadiyah juga menegaskan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang harapanya nilai-nilai ini bisa tersebar di muka bumi. Sehingga dakwah rahmatan lil alamin dan amar ma’ruf nahi munkar saling berhubungan. Sehingga dikemas oleh Muhammadiyah sebagai gerakan internasionalisasi untuk menjadi perpanjangan tangan dakwah Muhammadiyah demi mewujudkan Masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Penulis: Muhammad Ihsan Barori (Kabid PIP PD IPM Gunungkidul), Mahasiswa KPI UMY
Editor: Tim Editor MEDKOM HIMA PAI UMY
0 Komentar